JAKARTA (bisnis.com): Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengharapkan pihak kepolisian agar mengenakan kewajiban menanggung biaya keamanan yang tidak murah bagi peritel yang mengoperasikan minimarket nonstop, guna tetap terjaganya keamanan di wilayah permukiman.
Ketua KPPU Tresna P. Soemardi mengatakan di luar negeri juga menerapkan hal yang sama untuk toko modern yang buka 24 jam, termasuk format skala terkecil yang di negara lain dikenal dengan sebutan convenience store dan bukan minimarket.
“[Diharapkan ada] kewajiban untuk bayar keamanan yang tidak murah, seperti halnya yang diterapkan di luar negeri,” kata Tresna, hari ini.
Dia mengatakan tidak murahnya biaya keamanan minimarket 24 jam karena membutuhkan sejumlah teknologi keamanan yang canggih, seperti alarm yang terhubung dengan pihak kepolisian, sehingga aparat bisa langsung bertindak jika terjadi tindakan kriminal di gerai.
Ketika diminta pendapatnya soal usulan KPPU agar dikenakan biaya keamanan yang tidak murah bagi peritel yang mengoperasionalkan minimarket 24 jam, Direktur Operasional Alfamart Pudjianto menolak berkomentar. “No comment,” ujarnya.
Ketika diminta pendapatnya soal usulan KPPU agar dikenakan biaya keamanan yang tidak murah bagi peritel yang mengoperasionalkan minimarket 24 jam, Direktur Operasional Alfamart Pudjianto menolak berkomentar. “No comment,” ujarnya.
Seperti diketahui belakangan ini makin banyak bertumbuh minimarket yang beroperasi 24 jam di daerah permukiman. Sebelumnya, gerai modern skala terkecil tersebut buka nonstop untuk wilayah yang tidak pernah sepi dari aktivitas di pusat kota, seperti di Jl. Hayam Wuruk, Mangga Besar, dan jalur pantura dan bukan di daerah permukiman.
Sebelumnya, KPPU menyatakan harus ada pembatasan jumlah minimarket yang diizinkan buka 24 jam agar tidak sampai terjadi persaingan usaha tidak sehat dengan terjadinya praktik kanibalisme yang saling mematikan antarpesaing, mengingat pasarnya yang terbatas.
Berlebihannya gerai modern skala kecil yang melayani konsumen secara nonstop dinilai KPPU bisa memicu potensi peritel melakukan hal yang tidak pada tempatnya, seperti melakukan jual rugi (predatory pricing) sesaat sampai pesaing mati, baru kemudian kembali menjual dengan harga normal (Bisnis, 22 Februari 2010).

Tidak ada komentar